Wednesday, June 6, 2007

LEGISLATIF VS EKSEKUTIF

Ketidakhadiran Presiden SBY dalam Sidang Paripurna DPR-RI, Selasa 5 Juni kemarin untuk menjawab interpelasi DPR dalam soal dukungan RI terhadap Resolusi PBB terhadap nuklir Iran tampaknya kembali membuka perang dingin antara lembaga legslatif dan eksekutif.
Interplasi yang dilayangkan DPR terhadap kebijakan pemerintah dalam sikap politik luar negeri kali ini memang adalah hak DPR. Justru mengemuka adalah nuansa politik yang kental dalam menggelindingkan isu interplasi ke kancah politik yang mengakibatkan "ketegangan" politik.
Para politisi di Senayan ini menghendaki presiden dapat hadir langsung guna menjawab hak interplasi DPR. Namun nampaknya Presiden SBY kukuh untuk tidak hadir dan lebih megutus pembantu-pembantu nya untuk hadir dan menjawab interplasi itu di sidang DPR-RI kemarin.
Tentu saja ketidak hadiran presiden ditanggapi miring oleh anggota DPR. Terbukti saat Sidang Paripurna berlangsung "hujan" interupsi yang mempertanyakan ketidak hadiran presiden tiada henti dilontarkan anggota dewan. Sementara para menteri utusan presiden yang hadir mewakili presiden tak diberi kesempatan mengemukakan jawaban presiden atas interpelasi tersebut. Suasana sidang yang memanas akhirnya menyebabkan ditunda nya Sidang Paripurna DPR.
Menanggapi situasi di Senayan, seperti biasannya SBY degan sigap nya menggelar konfrensi pers di Istana pada Selasa sore. SBY sepertinya kekeh untuk tetap tidak hadir dalam Sidang Paripurna Interpelasi nantinnya.
Adu kuat antara legislatif dan eksekutif sepertinya masih akan seru lanjuatan ceritannya. Terkesan interpelasi kali ini berdampak politik yang sangat kuat. Padahal hak interpelasi dan hak jawab inikan sesuatu yang wajar dalam sistem demokrasi kita. DPR mengundang presiden dengan penuh hormat, sebaiknya kehormatan itu dibalas dengan datangnya presiden ke Senayan. Walaupun dalam aturan mainnnya presiden tidak diwajibkan datang, dan boleh mengutus wakil atau pembantunya untuk menjawab interpelasi.
Yang menjadi persoalan adalah kekuatan SBY di parlemen yang sangat tidak signifikan inilah menjadi benang merah memanasnya ketegangan antara legislatif dan yudikatif kali ini. Sebaiknya presiden hadir untuk lebih menunjukan respek kepada dewan karena real politiknya suara kubu SBY di parlemen minoritas. Sementara kalangan politisi Senayan menahan diri untuk membuat manuver politik yang berlebihan menyingkapi situasi ini.
Nampaknya pertarungan gengsi legislatif dan erksekutif belum akan mencair, karena anggota DPR siap menggulirkan interpelasi berikutnya dengan isue lokal. Seperti interpelasi tentang kasus Lapindo atau kasus perjanjian RI dengan Singapura. Kita tunggu saja kelanjutan skenario politik nya. Rakyat hanya mengikuti dan menilai prilaku elite politik. Jika penilaian berbuah positif maka ada kesempatan mereka kita pilih kembali pada hajatan politik di 2009, namun jika penilaian itu minus maka siap- siaplah mereka kita "tendang".

No comments: